Di era 70-an hingga akhir 90-an, saat minyak kita pernah membuat kita menjadi eksportir, kita sama sekali lengah mempersiapkan grand design arsitektur perminyakan dan energy nasional yang terintegrasi dan mandiri.
Keadaan nyaman selama kurang lebih 30 tahun ini membuat badan-badan usaha Negara di sector energy lebih senang melakukan kerjasama bagi hasil, menjadi tukang tadah dengan perusahaan asing.
Kebiasaan ini juga telah membuat Indonesia hanya bias menganga karena tidak mampu mengelola hasil migas dan mineralnya untuk kebutuhan energy dalam negeri.
Kekayaan energy Indonesia seharusnya dimaknai sebagai anugerah, karena salah urus dan dikawal tanpa visi, kini lebih sering menjadi petaka bagi kita sendiri.
Ironis sekali, ribuan ton batubara yang melintasi sungai Mahakam setiap harinya, atau hasil gas di daerah-daerah timur Kalimantan hanya bias lewat untuk di ekspor. Sementara kota-kota dis ekitar situ setiap dua hari sekali baru bias mendapat pasokan listrik.
Ongkos produksi batubara dan gas yang memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan biaya ekspor menjadi salah satu alasan utama ketergantungan kepada perusahaan-perusahaan asing hingga saat ini.
Kesalahan ini terutama terletak pada desain kebijakan yang lebih memilih orientasi ekspor sebagai prioritas daripada mengamankan terlebih dahulu kebutuhan domestic dan menjawab kebutuhan energy alternative. Pola pikir seperti ini secara tidak langsung telah membentuk badan-badan usaha milik Negara dibidang energy menjadi pemalas dan terus menerus menggantungkan hidupnya pada asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar